Rabu, 14 Oktober 2015

Sejarah Tentara Nasional Indonesia




Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, tidak segera dibentuk tentara kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya memuat dua pasal mengenai Angkatan Perang dan pembelaan negara, yaitu pasal 10 yang menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, pasal 30 yang menentukan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang syarat-syaratnya diatur undang-undang. Tidak mengherankan perkembangan tentara Indonesia dalam negara Republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh dinamika jalannya revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan Undang-Undang Dasar.1
Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk tentara, tetapi keputusan ini kemudian diubah dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agutus 1945. Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Kea2manan Rakyat (BKR) saja, sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban perang (BPKKP). Penggunaan nama tentara dihindari untuk menunjukan politik dami republik Indonesia terhadap pihak sekutu yang menang perang. BKR bertugas untuk memlihara keamanan dan ketertiban di daerah-daerah. BKR mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri; disusun secara kedaerahan (teritorial administratif) dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah. Pimpinan BKR yang duduj di KNI ikut memecahkan masalah-masalah yang timbul di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Di samping BKR tumbuh pula pasukan-pasukan bersenjata (badan/laskar perjuangan) yang terdiri dari pemuda-pemuda dengan bermacam orentasi politik yang tidak puas dengan hanya dibentuk BKR. Mereka menghendaki suatu tentara kebangsaan.3
Baru pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan bahwa “untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo disertai tugas untuk membentuknya dan Letnan Jendral Urip Sumoharjo berhasil mendirikan Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Konferensi pertama antara para komandan Divisi dan Resimen TKR diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945 dan dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo. Dalam pertemuan ini antara lain diadakan pemilihan Panglima Besar dan Menteri keamanan Rakyat. Terpilihlah kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar dan baru disahkan pada tanggal 18 Desember 1945, sedangkan usul Sultan Hamengku Buwono IX sebagai menteri Keamanan Rakyat tidak dapat diterima oleh Pemerintah. Walaupun telah terbentuk satu tentara dengan nama TKR, namun barisan/pasukan pemuda bersenjata (badan/Laskar Pemuda) tetap diperbolehkan berdiri, tanpa diperintah untuk melebur di TKR. Adanya dualisme kekuatan bersenjata ini ternyata menimbulkan banyak kesulitan di kemudian hari.
Keterlibatan pimpinan tentara dalam sosial politik disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang strategi perjuangan menghadapi kaum penjajah. Pemerintah yang dipimpin oleh kaum politik tua lebih menitikberatkan pada perjuangan diplomasi, sedangkan pimpinan tentara yang tergolong kaum muda lebih menitikberatkan pada perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata.4 Perbedaan persepsi tentang strategi ini sering menimbulkan dialog dan silang pendapat antara pemerintah dan pimpinan tentara yang mewarnai hubungan yang kurang serasi antara pemerintah dan pimpinan tentara sampai menjelang diakuinya kemerdekaan Republik Indonesia oleh pihak Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Pada tanggal 1 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam tugas tentara dari keamanan menjadi keselamatan dalam arti yang lebih luas.5 Kementrian Keamanan Rakyat diubah pula menjadi Kementrian Pertahanan. Karena konteks politik berubah menjadi sistem pemerintahan yang bertanggungjawab kepada parlemen dengan banyak partai. Maka Mentri Pertahanan Amir Syarifudin berusaha sekerasnya untuk mendudukkan TKR dalam posisi sebagai alat negara dibawah kendali pemerintah sesuai dengan faham supermasi sipil. Usaha Menteri Pertahanan tersebut tidak realistik dilihat dari situasi dan kondisi pada waktu itu serta mengingat proses lahir dan tumbuhnya TKR yang menganggap dirinya sebagai alat perjuangan rakyat dan bukanya sebagai alat negara belaka di bawah kendali pemerinta. Ketidaksesuaian jalan fikiran antara Pemerintah/kabinet dan kalangan Markas Tertinggi TKR tersebut juga menjadi sumber ketegangan politik dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam usaha untuk menjadikan TKR sebagai alat Negara Republik Indonesia yang patuh kepada pemerintah, maka pada tanggal 25 Januarai 1946 dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah yang merubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di negara Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer Internasional.
Sudah sejak awal pembentukannya, kabinet syahrir mengalami oposisi yang gencar dari Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. TRI dengan penuh minat mengikutu kegiatan-kegiatan politik dan kadang-kadang dengan terbuka menyatakan pro-kontranya. Oposisinya berkembang disertai dengan kerusuhan dan berakhibat penagkapan terhadap pimpinan Persatuan Perjuangan. Panglima Sudirman yang semula bersikap netral terhadap krisis-krisis tersebut akhirnya atas desakan Presiden Soekarno menyatakan sikapnya mendukung Pemerintah serta bertindak terhadap Persatuan Perjuangan, setelah peristiwa 3 Juli 1946 dapat diatasi.
Adanya dua macam tentara, yaitu TRI sebagai tentara resmi di bawah Panglima Besar dan brigade-brigade kelaskaran di bawah Biro Perjuangan sangat merugikan perjuangan bangsa menghadapi ancaman Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan dekrit oleh Presiden/Panglima Tertinggi yang menentukan agar dalam waktu sesing7katnya mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). 
Sementara itu strategi diplomasi yang dilancarkan oleh kabinet Syahrir telah menghasilkan ditandatanganinya Persetujuan Linggarjati pada tanggal 23 Maret 1947. Dilancarkanya Agresi Militer I oleh pihak Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan gencatan senjata diadakan pada tanggal 5 Agustus 1947 maka TNI harus ditarik mundur di belakang garis Van Mook yang ditetapkan oleh pihak Belanda dan sangat merugikan pihak republik karena harus mengorbankan daerah-daerah strategis. Pada awal desember 1947 dimulai lagi perundingan dengan pihak Belanda oleh Kabinet Amir Syarifuddin yang sejak 3 Juli 1947 menggantikan kabinet Syahrir III. Perundingan itu menghasilkan persetujuan Renville, yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada tanggal 23 Januari 1948 Kabinet Amir Syarifuddin meletakkan jabatan karena hebatnya reaksi yang timbul di kalangan partai-partai politik dan lebih-lebih dari pihak tentara. Kabinet Amir Syarifuddin digantikan oleh kabinet Presidensial Mohammad Hatta mulai 29 Januari 1948.
Pelaksanaan program reorganisasi-rasionalisasi oleh kabinet Presidensial Mohammad Hatta ini meninbulkan pro dan kontra terutama dari dalam Angkatan Perang sendiri. Oposisi dengan tema; anti Renville dan anti Re-Ra dipimpin oleh mantan PM. Amir Syarifuddin, ia membentuk “Front Demokrasi Rakyat” (FDR) pada tanggal 26 februari 1948 yang terdiri dari golongan sayap kiri. Dengan meleburnya Partai Buruh dan Partai Sosialis ke dalam PKI, maka sejak September pimpinan FDR dikuasai oleh PKI dengan Muso sebagai ketuanya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan Tentara tidak dapat dihindari dan mencapai puncaknya dengan pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 19 September 1948. Pemberontakan dapat ditumpas dalam waktu yang tidak lama.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3H7ohlUrvkrqdXe6JR-APtIc9F2T-Am1cG9C2ebHATf20qRtD-9qHgnbebJIP7Eq381mZdU1UketMocAtVB9gNjUrShXCxtUkLbf4P2yIR-jCoJg4MhgpuRHfeqn6nl_GcF9LMTILDTQ/s1600/sejarah+tni.jpg
Dalam pemulihan keamanan, TNI di samping melaksanakan fungsi Hankam, juga melaksanakan fungsi sosial-politik. Mereka harus mampu memutar roda pemerintahan dan ekonomi serta memulihkan kembali kehidupan masyarakat, disamping melanjutkan tugas keamanan. Tetapi ternyata belum sampai sebulan sejak berakhirnya operasi penumpasan kekuatan FDR/PKI, pihak Belanda melancarkan agresi militernya yang ke-2 dengan menyerang dan menduduki ibukota RI Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948.
Pesiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta beserta beberapa Mentri ditahan Belanda. Sebelum itu telah diberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syarifudin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Panglima Besar Sudirman meneruskan perjuangan bersenjata dengan semboyan berjuang terus “met of zonder Pemerintah”. Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Komando Jawa menyatakan berlakunya Pemerintahan Militer untuk seluruh jawa dengan tujuan untuk menyelamatkan Republik Indonesia, dengan susunan pemerintahannya sebagai berikut; (a) Panglima Besar Angkatan Perang (PBAP) sebagai pimpinan tertinggi, (b) Panglima Tentara dan Teritorial Jawa (PTTD) untuk pimpinan di Jawa dan Madura, (c) Gubernur Militer (GM) untuk provinsi, (d) Komando Militer Daerah (KMD) untuk karesidenan, (e) Komandan Distik Militer (KDM) untuk Kabupaten, (f) Komandan Onder Distrik Militer (KODM) untuk kecamatan. Tugas pokok tiap eselon ialah menyelenggarakan dan menghidupkan kembali seluruh aspek pemerintahan yang meliputi bidang-bidang: pemerintahan umum, ekonomi, kemasyarakatan, pertahanan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa selama mengobarkan perang gerilya itu TNI tidak hanya melaksanakan fungsi militer, melainkan juga melaksanakan fungsi sosial politik, dengan menugaskan pula personil militer pada bidang-bidang non militer.
Atas desakan PBB akhirnya RI dan Belanda dapat dipertemukan di meka perundingan, dan pada tanggal 7 Mei 1949 tercapailah Persetujuan Rum-Royen. Persetujuan Rum-Royen yang dihasilkan oleh kaum politisi dan pemerintah, oleh kalangan militer dirasakan tidak sesuai dengan pandangan militer, karena justru pada dewasa itu tentara telah selesai dengan tingkat konsolidasi pasukan dan pemerintahan gerilya, sehingga perjuangan dapat meningkat pada tahap taktis offensif untuk menghancurkan bagian-bagian musuh yang lemah.
PDRI yang memegang kekuasaan negara yang sah dan mendapatkan dukungan dari TNI semula tidak mau menerima persetujuan Rum-Royen, tetapi akhirnya dengan berat hati dapat menerima setelah diadakan kontrak dan pembicaraan antara Bangka-Jakarta dengan PDRI dan TNI. Pada tanggal 6 Juli 1949 Soekarno-Hatta serta pimpinan lainnya dikembalikan ke Yogyakarta. Satu minggu kemudian Mr. Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya selaku Presiden kepada Soekarno. Pada tanggal 1 Agustus 1949 dicapai persetujuan “cease fire” antara RI-Belanda.
Konperensi Meja Bundar diselenggarakan tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November di Den Haag, dan dicapai persetujuan bahwa kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Barat) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.
Selama perjuangan kemerdekaan dengan perang rakyatnya, TNI mengalami proses penggodokan. Hal ini yang telah mendewasakannya, tidak hanya sebagai kekuatan militer dalam tugas pertahanan-keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial politik dalam mengani masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya, dan pemerintahan dalam masyarakat yang sedang berjuang. Ini merupakan modal yang sangat besar. Namun perlu disadari bahwa suatu angatan perang yang lahir dalam masa revolusi kemerdekaan sering menjadi sumber instabilitas dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.10Masalah inilah yang harus diperhatikan dalam membangun TNI di masa damai setelah tercapai pengakuan kedaulatan
Periode pembentukan (1945-1947)
Badan Keamanan Rakyat
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e7/Sudirman.jpg/150px-Sudirman.jpg
Panglima Besar Jenderal Soedirman, Panglima Tentara Nasional Indonesia pertama.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[1]
BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang membubarkan PETA dan Heiho. Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.[2] Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.
Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[1] Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu bekerja dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.
Karena pada saat itu komunikasi masih sulit, tidak semua daerah di Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas daerah yang mendengar itu adalah Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera bagian timur dan Aceh tidak mendengarnya.
Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai daerah Sumatera membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan tentara. Pemuda Aceh mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API), di Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).
Tentara Keamanan Rakyat
Description: Foto buram seorang pria mengenakan peci
Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak aman. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.
Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan diberi tugas untuk membentuk tentara.[4] Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR berada di Yogyakarta.
Presiden Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi dia tidak pernah muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak mempunyai pimpinan tertinggi. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu adalah terpilihnya Kolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi Panglima Besar TKR, dengan pangkat Jenderal.
Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat
Untuk memperluas fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 yang mengganti nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Kementerian Pertahanan.
Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.
Tentara Republik Indonesia
Description: http://civitasbook.com/_z_album_k/w2/j1/p/aaaaawjp33_pahlawan20140301345500.jpg
Untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini dikeluarkan melalui Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.
Untuk mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu panita yang disebut dengan Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Beberapa panitia tersebut adalah Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.
Pada tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, kekuatan dan organisasi, peralihan dari TKR ke TRI dan kedudukan laskar-laskar dan barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.
Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 akhirnya melantik para pejabat Markas Besar Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima Besar Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mewakili semua yang dilantik.
Tentara Nasional Indonesia
Usaha untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain.[9]
Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berusaha untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara.
Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan susunan tertinggi TNI. Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soerdiman diangkat sebagai Kepala Pucuk Pimpinan TNI dengan anggotanya adalah Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, Laksamana Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]
Dalam ketetapan itu juga menyatakan bahwa semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]



Penataan organisasi (1947-1948)
Description: http://inijogja.co.id/wp-content/uploads/2014/03/TNI-AD.jpg
Description: http://www.jurnalsumatra.com/berkas/2013/12/TNI-AL-Careers.jpg
Description: http://cdn.klimg.com/merdeka.com/i/w/photonews/2013/04/09/174299/640x320/20130409132716-atraksi-elang-besi-meriahkan-hut-tni-au-ke-67-012-debby.jpg
Kondisi ekonomi negara yang masih baru, belum cukup untuk membiayai angkatan perang yang besar pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan angkatan perang.
Selain itu, hasil dari Perjanjian Renville adalah semakin sempitnya wilayah Republik Indonesia. Daerah yang dikuasai hanyalah beberapa karesidenan di Jawa dan Sumatera yang berada dalam keadaan konomi yang cukup parah akibat blokade oleh Belanda.
Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan kedalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.
Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil, adalah pelaksana taktis operasional.[12]
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Panglima Besar Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU).
Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Panglima Besar Jenderal Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi (mantan KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.[13]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar