Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, tidak
segera dibentuk tentara kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya
memuat dua pasal mengenai Angkatan Perang dan pembelaan negara, yaitu pasal 10
yang menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, pasal 30 yang menentukan bahwa tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang
syarat-syaratnya diatur undang-undang. Tidak mengherankan perkembangan tentara
Indonesia dalam negara Republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh dinamika
jalannya revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan Undang-Undang
Dasar.1
Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2
tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk tentara, tetapi
keputusan ini kemudian diubah dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agutus 1945.
Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Kea2manan
Rakyat (BKR) saja, sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban perang
(BPKKP). Penggunaan nama tentara dihindari untuk menunjukan politik dami
republik Indonesia terhadap pihak sekutu yang menang perang. BKR bertugas untuk
memlihara keamanan dan ketertiban di daerah-daerah. BKR mempersenjatai,
melengkapi, dan membekali diri sendiri; disusun secara kedaerahan (teritorial
administratif) dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional Indonesia
(KNI) di daerah. Pimpinan BKR yang duduj di KNI ikut memecahkan masalah-masalah
yang timbul di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Di samping BKR
tumbuh pula pasukan-pasukan bersenjata (badan/laskar perjuangan) yang terdiri
dari pemuda-pemuda dengan bermacam orentasi politik yang tidak puas dengan
hanya dibentuk BKR. Mereka menghendaki suatu tentara kebangsaan.3
Baru pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah
yang menyatakan bahwa “untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan
suatu Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo disertai
tugas untuk membentuknya dan Letnan Jendral Urip Sumoharjo berhasil mendirikan
Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Konferensi pertama antara para komandan
Divisi dan Resimen TKR diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945 dan
dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo. Dalam pertemuan ini antara lain diadakan
pemilihan Panglima Besar dan Menteri keamanan Rakyat. Terpilihlah kolonel
Sudirman sebagai Panglima Besar dan baru disahkan pada tanggal 18 Desember
1945, sedangkan usul Sultan Hamengku Buwono IX sebagai menteri Keamanan Rakyat
tidak dapat diterima oleh Pemerintah. Walaupun telah terbentuk satu tentara
dengan nama TKR, namun barisan/pasukan pemuda bersenjata (badan/Laskar Pemuda)
tetap diperbolehkan berdiri, tanpa diperintah untuk melebur di TKR. Adanya
dualisme kekuatan bersenjata ini ternyata menimbulkan banyak kesulitan di
kemudian hari.
Keterlibatan pimpinan tentara dalam sosial politik disebabkan
adanya perbedaan pandangan tentang strategi perjuangan menghadapi kaum
penjajah. Pemerintah yang dipimpin oleh kaum politik tua lebih menitikberatkan
pada perjuangan diplomasi, sedangkan pimpinan tentara yang tergolong kaum muda
lebih menitikberatkan pada perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata.4 Perbedaan
persepsi tentang strategi ini sering menimbulkan dialog dan silang pendapat
antara pemerintah dan pimpinan tentara yang mewarnai hubungan yang kurang
serasi antara pemerintah dan pimpinan tentara sampai menjelang diakuinya
kemerdekaan Republik Indonesia oleh pihak Belanda pada tanggal 27 Desember
1949.
Pada tanggal 1 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, yang dapat diartikan memperluas dan
memperdalam tugas tentara dari keamanan menjadi keselamatan dalam arti yang
lebih luas.5 Kementrian
Keamanan Rakyat diubah pula menjadi Kementrian Pertahanan. Karena konteks
politik berubah menjadi sistem pemerintahan yang bertanggungjawab kepada
parlemen dengan banyak partai. Maka Mentri Pertahanan Amir Syarifudin berusaha
sekerasnya untuk mendudukkan TKR dalam posisi sebagai alat negara dibawah
kendali pemerintah sesuai dengan faham supermasi sipil. Usaha Menteri
Pertahanan tersebut tidak realistik dilihat dari situasi dan kondisi pada waktu
itu serta mengingat proses lahir dan tumbuhnya TKR yang menganggap dirinya
sebagai alat perjuangan rakyat dan bukanya sebagai alat negara belaka di bawah
kendali pemerinta. Ketidaksesuaian jalan fikiran antara Pemerintah/kabinet dan
kalangan Markas Tertinggi TKR tersebut juga menjadi sumber ketegangan politik
dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam usaha untuk menjadikan TKR sebagai alat Negara Republik
Indonesia yang patuh kepada pemerintah, maka pada tanggal 25 Januarai 1946
dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah yang merubah nama Tentara Keselamatan Rakyat
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah
satu-satunya organisasi militer di negara Republik Indonesia dan akan disusun
atas dasar militer Internasional.
Sudah sejak awal pembentukannya, kabinet syahrir mengalami oposisi
yang gencar dari Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. TRI dengan
penuh minat mengikutu kegiatan-kegiatan politik dan kadang-kadang dengan
terbuka menyatakan pro-kontranya. Oposisinya berkembang disertai dengan
kerusuhan dan berakhibat penagkapan terhadap pimpinan Persatuan Perjuangan.
Panglima Sudirman yang semula bersikap netral terhadap krisis-krisis tersebut
akhirnya atas desakan Presiden Soekarno menyatakan sikapnya mendukung
Pemerintah serta bertindak terhadap Persatuan Perjuangan, setelah peristiwa 3
Juli 1946 dapat diatasi.
Adanya dua macam tentara, yaitu TRI sebagai tentara resmi di bawah
Panglima Besar dan brigade-brigade kelaskaran di bawah Biro Perjuangan sangat
merugikan perjuangan bangsa menghadapi ancaman Belanda. Oleh karena itu pada
tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan dekrit oleh Presiden/Panglima Tertinggi yang
menentukan agar dalam waktu sesing7katnya
mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Mulai tanggal 3 Juni
1947 disahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sementara itu strategi diplomasi yang dilancarkan oleh kabinet
Syahrir telah menghasilkan ditandatanganinya Persetujuan Linggarjati pada
tanggal 23 Maret 1947. Dilancarkanya Agresi Militer I oleh pihak Belanda pada
tanggal 21 Juli 1947 dan gencatan senjata diadakan pada tanggal 5 Agustus 1947
maka TNI harus ditarik mundur di belakang garis Van Mook yang ditetapkan oleh
pihak Belanda dan sangat merugikan pihak republik karena harus mengorbankan
daerah-daerah strategis. Pada awal desember 1947 dimulai lagi perundingan
dengan pihak Belanda oleh Kabinet Amir Syarifuddin yang sejak 3 Juli 1947
menggantikan kabinet Syahrir III. Perundingan itu menghasilkan persetujuan
Renville, yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada tanggal 23 Januari
1948 Kabinet Amir Syarifuddin meletakkan jabatan karena hebatnya reaksi yang
timbul di kalangan partai-partai politik dan lebih-lebih dari pihak tentara.
Kabinet Amir Syarifuddin digantikan oleh kabinet Presidensial Mohammad Hatta
mulai 29 Januari 1948.
Pelaksanaan program reorganisasi-rasionalisasi oleh kabinet
Presidensial Mohammad Hatta ini meninbulkan pro dan kontra terutama dari dalam
Angkatan Perang sendiri. Oposisi dengan tema; anti Renville dan anti Re-Ra
dipimpin oleh mantan PM. Amir Syarifuddin, ia membentuk “Front Demokrasi
Rakyat” (FDR) pada tanggal 26 februari 1948 yang terdiri dari golongan sayap
kiri. Dengan meleburnya Partai Buruh dan Partai Sosialis ke dalam PKI, maka
sejak September pimpinan FDR dikuasai oleh PKI dengan Muso sebagai ketuanya.
Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan Tentara tidak dapat dihindari dan
mencapai puncaknya dengan pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 19
September 1948. Pemberontakan dapat ditumpas dalam waktu yang tidak lama.
Dalam pemulihan keamanan, TNI di samping melaksanakan fungsi
Hankam, juga melaksanakan fungsi sosial-politik. Mereka harus mampu memutar
roda pemerintahan dan ekonomi serta memulihkan kembali kehidupan masyarakat,
disamping melanjutkan tugas keamanan. Tetapi ternyata belum sampai sebulan
sejak berakhirnya operasi penumpasan kekuatan FDR/PKI, pihak Belanda
melancarkan agresi militernya yang ke-2 dengan menyerang dan menduduki ibukota
RI Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948.
Pesiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta beserta beberapa
Mentri ditahan Belanda. Sebelum itu telah diberikan mandat kepada Menteri
Kemakmuran Mr. Syarifudin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Panglima Besar Sudirman meneruskan
perjuangan bersenjata dengan semboyan berjuang terus “met of zonder
Pemerintah”. Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Komando Jawa menyatakan
berlakunya Pemerintahan Militer untuk seluruh jawa dengan tujuan untuk
menyelamatkan Republik Indonesia, dengan susunan pemerintahannya sebagai
berikut; (a) Panglima Besar Angkatan Perang (PBAP) sebagai pimpinan tertinggi,
(b) Panglima Tentara dan Teritorial Jawa (PTTD) untuk pimpinan di Jawa dan
Madura, (c) Gubernur Militer (GM) untuk provinsi, (d) Komando Militer Daerah
(KMD) untuk karesidenan, (e) Komandan Distik Militer (KDM) untuk Kabupaten, (f)
Komandan Onder Distrik Militer (KODM) untuk kecamatan. Tugas pokok tiap eselon
ialah menyelenggarakan dan menghidupkan kembali seluruh aspek pemerintahan yang
meliputi bidang-bidang: pemerintahan umum, ekonomi, kemasyarakatan, pertahanan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa selama mengobarkan
perang gerilya itu TNI tidak hanya melaksanakan fungsi militer, melainkan juga
melaksanakan fungsi sosial politik, dengan menugaskan pula personil militer
pada bidang-bidang non militer.
Atas desakan PBB akhirnya RI dan Belanda dapat dipertemukan di
meka perundingan, dan pada tanggal 7 Mei 1949 tercapailah Persetujuan
Rum-Royen. Persetujuan Rum-Royen yang dihasilkan oleh kaum politisi dan pemerintah,
oleh kalangan militer dirasakan tidak sesuai dengan pandangan militer, karena
justru pada dewasa itu tentara telah selesai dengan tingkat konsolidasi pasukan
dan pemerintahan gerilya, sehingga perjuangan dapat meningkat pada tahap taktis
offensif untuk menghancurkan bagian-bagian musuh yang lemah.
PDRI yang memegang kekuasaan negara yang sah dan mendapatkan
dukungan dari TNI semula tidak mau menerima persetujuan Rum-Royen, tetapi
akhirnya dengan berat hati dapat menerima setelah diadakan kontrak dan pembicaraan
antara Bangka-Jakarta dengan PDRI dan TNI. Pada tanggal 6 Juli 1949
Soekarno-Hatta serta pimpinan lainnya dikembalikan ke Yogyakarta. Satu minggu
kemudian Mr. Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya selaku
Presiden kepada Soekarno. Pada tanggal 1 Agustus 1949 dicapai persetujuan
“cease fire” antara RI-Belanda.
Konperensi Meja Bundar diselenggarakan tanggal 23 Agustus sampai
dengan tanggal 2 November di Den Haag, dan dicapai persetujuan bahwa kerajaan
Belanda akan menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah Hindia Belanda
(kecuali Irian Barat) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27
Desember 1949.
Selama perjuangan kemerdekaan dengan perang rakyatnya, TNI
mengalami proses penggodokan. Hal ini yang telah mendewasakannya, tidak hanya
sebagai kekuatan militer dalam tugas pertahanan-keamanan, tetapi juga sebagai
kekuatan sosial politik dalam mengani masalah-masalah politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pemerintahan dalam masyarakat yang sedang berjuang. Ini merupakan
modal yang sangat besar. Namun perlu disadari bahwa suatu angatan perang yang
lahir dalam masa revolusi kemerdekaan sering menjadi sumber instabilitas dalam
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.10Masalah
inilah yang harus diperhatikan dalam membangun TNI di masa damai setelah
tercapai pengakuan kedaulatan
Periode pembentukan (1945-1947)
Badan Keamanan Rakyat
Panglima Besar Jenderal Soedirman, Panglima Tentara Nasional
Indonesia pertama.
Pada
tanggal 22 Agustus 1945 Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga
badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut
adalah Komite
Nasional Indonesia
(KNI), Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan
Badan Keamanan
Rakyat (BKR).[1]
BKR
merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula
bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan
(BPP). BPP sudah ada dalam zaman Jepang dan bertugas memelihara
kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]
Pada
tanggal 18 Agustus 1945 Jepang membubarkan PETA dan Heiho.
Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.[2]
Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19
Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.
Pembentukan
BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[1]
Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho,
Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu bekerja dalam
bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan
jika telah datang saatnya.
Karena
pada saat itu komunikasi masih sulit, tidak semua daerah di Indonesia mendengar
Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas daerah yang mendengar itu adalah Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera bagian timur dan Aceh tidak
mendengarnya.
Walaupun
tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai daerah Sumatera membentuk
organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan tentara. Pemuda
Aceh mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API), di Palembang terbentuk BKR,
tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan
Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).
Tentara Keamanan Rakyat
Menyerahnya
Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak
aman. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat
pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.
Pemerintah
memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf
Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan diberi tugas untuk membentuk tentara.[4] Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR berada di Yogyakarta.
Presiden
Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan
Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi dia tidak pernah
muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak mempunyai pimpinan tertinggi. Untuk
mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala
Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu adalah
terpilihnya Kolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah
Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi Panglima Besar
TKR, dengan pangkat Jenderal.
Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat
Untuk
memperluas fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga
keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946
yang mengganti nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah
namanya menjadi Kementerian Pertahanan.
Markas
Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat.
Tentara Republik Indonesia
Untuk
menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama
Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini
dikeluarkan melalui Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.
Untuk
mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu panita yang
disebut dengan Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Beberapa
panitia tersebut adalah Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.
Pada
tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan
bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, kekuatan dan organisasi,
peralihan dari TKR ke TRI dan kedudukan laskar-laskar dan barisan-barisan serta
badan perjuangan rakyat.
Presiden
Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 akhirnya melantik para pejabat Markas Besar Umum dan
Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima Besar
Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mewakili semua
yang dilantik.
Tentara Nasional Indonesia
Usaha
untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada
waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat, kurang
menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sering terjadi
kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain.[9]
Untuk
mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berusaha untuk
menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan tentang
penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi
tentara.
Pada
tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan
laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama
Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan susunan tertinggi TNI.
Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soerdiman diangkat sebagai Kepala Pucuk
Pimpinan TNI dengan anggotanya adalah Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo,
Laksamana Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor
Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]
Dalam
ketetapan itu juga menyatakan bahwa semua satuan Angkatan Perang dan satuan
laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada
segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]
Penataan organisasi (1947-1948)
Kondisi
ekonomi negara yang masih baru, belum cukup untuk membiayai angkatan perang
yang besar pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan
gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan
angkatan perang.
Selain
itu, hasil dari Perjanjian Renville adalah semakin sempitnya wilayah
Republik Indonesia. Daerah yang dikuasai hanyalah beberapa karesidenan di Jawa dan Sumatera yang berada dalam keadaan konomi yang
cukup parah akibat blokade oleh Belanda.
Pada
tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi
Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan
kedalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP).
Sementara itu Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar
Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang
dihapus.
Presiden
mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang
dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang
Mobil diangkat Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas
sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian
Pertahanan. Sementara Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil, adalah pelaksana
taktis operasional.[12]
Keputusan
Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948
yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam
penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Besar
Pertempuran tetap di bawah Panglima Besar Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu
Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang berada di bawah
seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan
Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara
(KASAU).
Dalam
penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu penataan kementerian dan
pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta
daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Untuk
menyelesaikan penataan organisasi ini, Panglima Besar Jenderal Soedirman
membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota
panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi
(mantan KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda.
Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara
dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyelesaikan penataan organisasi
tentara di Pulau Sumatera.[13]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar