Kabupaten Pati merupakan salah satu
Kabupaten di Jawa Tengah berjarak ± 75 Km dari Pusat Ibukota Jawa Tengah (
Semarang ) secara geografis Kabupaten Pati terletak pada posisi yang
sangat strategis karena terletak di jalan Pantura yang menghubungkan Jakarta
dan Surabaya yang merupakan mobilitas terdapat di Indonesia, selain itu
Kabupaten Pati terletak dijalan transportasi yang menghubungkan Kota
Jepara dan Kota Solo yang merupakan satu – satunya pintu gerbang masuknya
wisatawan mancanegara di Jawa Tengah.
Sebagai penopang perekonomian
masyarakat yang berperan meningkatkan pendapatan asli daerah lewat Retribusi
dan Pajak.
Kondisi Objek Wisata di Kabupaten
Pati pada umumnya masih perlu perbaikan dan pengembangan lebih lanjut , sebagai
akibat adanya penjarahan oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan berkembangnya pariwisata sebagai industri, maka wisata budaya merupakan
kegiatan pariwisata yang menjadi daya tarik untuk mendorong motivasi wisatawan
melakukan perjalanan. Daya tarik wisata budaya dapat berupa kesenian
seperti seni rupa, segala bentuk seni pertunjukan, dan upacara adat yang sering
dikemas agar lebih menarik para wisatawan.
Sejarah Kabupaten Pati
berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten
Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu
Gambar yang berupa: “keris rambut pinutung dan kuluk kanigara”.
Menurut cerita rakyat dari mulut ke
mulut yang terdapat juga pada kitab babad Pati dan kitab babad lainnya dua
pusaka itu merupakan lambang kekuasaan dan kekuatan yang juga merupakan simbol
kesatuan dan persatuan.
Barang siapa yang memiliki dua pusaka
tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di pulau jawa. Adapun
yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi
andalan Kadipaten Carangsoko.
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar
tahun 1290 Masehi di pulau jawa fakum penguasa pemerintahan yang berwibawa.
Kerjaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singosari surut, sedang Kerajaan
Majapahit belum berdiri.
Di pantai utara Jawa Tengah sekitar
Gunung Muria bagian timur muncul Penguasa lokal yang memangkat dirinya sebagai
Adipati, wilayah kekuasaannya disebut Kadipaten.
Ada dua pusaka lokal di wilayah itu,
yaitu
1.
Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama “Yudhapati”.
Wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai Pegunungan Gamping
Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai seorang putra
bernama Raden Jasari.
2.
Penguasa Kadipaten Carangsoko, Adipatinya bernama “Puspa Andungjaya”,
wilayah kekuasaannya meliputi semua sungai Juwana sampai Pantai Utara Jawa
Tengah bagian Timur. Adipati Carangsoko mempunyai seorang putri bernama Rara
Rayungwulan.
Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun
dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestariakan
kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan itu kedua Adipati tersebut
bersepakat untuk mengawinkan putra putrinya itu. Utusan adipati Paranggaruda
untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri
minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan
pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama “Sapanyana”.
Untuk memenuhi beban itu, Adipati
Paranggaruda menugaskan panggede kemaguhan yang bernama Yuyurumpung agul-agul
Paranggaruda sebelum melaksanakan tugasnya lebih dulu Yuyurumpung berniat
melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoko dengan cara menguasai dua pusaka
milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan “Sondong Majeruk” kedua
pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan pada
Yuyurumpung, dapat kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong
Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan pusaka itu
diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai
dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap
melanjutkan tugas untuk mencari dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati
Paranggaruda tidak mengalami kegagalan.
Pada malam pahargyan bojana wiwaha
(resepsi) perkawinan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan
Pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja
dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke
panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan
pekawinan antara “Raden Jasari” dan “Rara Rayungwulan” gagal
total. Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, Emosi tak dapat dikendalikan
lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan
peperangan tak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka
memimpin prajurit Carangsoka, mengalami kekalahan dan kemudian wafat. Raden
Kembangjaya (adik ipar Raden Sukmayana) menerusakan peperangan. Dengan dibantu
oleh Dalang Sapanyana, dan menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan
prajurit Peranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati gugur dalam palagan
membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena
jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat
menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya
dengan nama “Singasari”.
Untuk mengatur pemerintahan yang
semakin wilayahnya kebagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan
pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama “Kadipaten
Pesantenan”. Dengan gelar “Adipati Jayakusuma” di pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu “Raden
Tambra”. Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati
Pesantenan dengan gelar “Adipati Tambranegara”.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan
Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana menjadi Songsong Agung yang
sangat memperhatikan nasib Rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba
sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan,
dan kesejahteraannya semakin meningkat. Untuk dapat mengembangkan pembangunan
dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan
pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri
munuju kearah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten
Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang
diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang berada di Musium
Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan
huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang ke empat antara lain berbunyi bahwa Raja
Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA
pada 13 Desember 1323. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama DYAH
MALAYUDA dengan gelar RAKAYI. Pada saat pengumuman itu bersamaan juga dengan
pisuwanan agung dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk
Raden Tambranegara berada di dalamnya. Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui
wilayah kekuasaan para Adipati itu, dengan memberi status sebagai tanah predikan,
dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti
berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara
juga hadir dalam Pisuanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab
Babad Pati, yang disusun oleh K. M. Sosrosumarto dan S. Dibyasudira,
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980.
Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada: 12 yang lengkapnya berbunyi bahwa
Tambranegara Pati Sumewo maring
Majalengka Brawijaya kedua, Majalengka adalah Majapahit.
Kratonnya ing satanah jawi angalih
Majapahit, ingkang jumeneng Ratu Brawijaya ingkang kaping kalih, Ya Jaka pekik
nama, Raden Tambranegara Sumewa maring, Kraton Majalengka
Bardasarkan hal tersebut, jelaslah
bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam Pisowanan agung
di Majapahit.
Menurut tradisi budaya pertanian
(Kultur Agraris) kelompok masyarakat atau perorangan jika mengadakan kerja
besar misalnya, melaksanakan pernikahan putranya, khitanan, mendirikan rumah,
merehab rumah, atau pindahan ke lain tempat, selau mengusahakan tanggal yang
baik. Dengan tujuan agar sesuatunya dapat berjalan dengan lancar, baik, selamat
serta mendatangkan rejeki.
Hari dan tanggal yang baik itu jika
sesuai musim panen padi yang jatuh pada bulan Juli atau Agustus pada tiap
tahunnya. Kalau pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke
Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya
Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten
Pati itu diperkirakan pada bulan Juli dan Agustus 1323.
Ada tiga tanggal yang baik pada
bulan Juli dan Agustus 1323 itu yaitu: 3 Juli, 7 Agustus, dan 14 Agustus 1323.
Seminar Hari Jadi Kabupaten Pati
yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati KDH Tk. II Pati pada tanggal 28
September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan
lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SLTA se Kabupaten Pati,
Konsultan Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah Undip Semarang, secara musyawarah
dan sepakat memutuskan bahwa tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan
Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati,
menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI. Dengan surya sengkala “KRIDANE
PANEMBAH GEBYARING BUMI”, yang bermakna “Dengan bekerja keras dan penuh do’a
kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah”.
Tanggal 7 Agustus 1323 sebagai HARI
JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah
Tingkat II Pati Nomor: 2/1994 tanggal 31 Mei 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar